Mungkin
Anda menduga, udara yang akhir-akhir ini makin panas, bukanlah suatu
masalah yang perlu kita risaukan. “Mana mungkin sih tindakan satu-dua
makhluk hidup di jagat semesta bisa mengganggu kondisi planet bumi
yang mahabesar ini?” barangkali begitulah Anda berpikir.
Baru-baru
ini, Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) memublikasikan
hasil pengamatan ilmuwan dari berbagai negara. Isinya sangat
mengejutkan. Selama tahun 1990-2005, ternyata telah terjadi peningkatan
suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15 – 0,3 oC. Jika
peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (33
tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis
meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas, pada tahun 2050 akan
terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di
seantero jagat. Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan
makanan. Napas tersengal oleh asap dan debu. Rumah-rumah di pesisir
terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga
akhirnya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula
nyawa manusia.
Di
Indonesia, gejala serupa sudah terjadi. Sepanjang tahun 1980-2002,
suhu minimum kota Polonia (Sumatera Utara) meningkat 0,17 oC per tahun.
Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87 oC
per tahun. Tanda yang kasatmata adalah menghilangnya salju yang dulu
menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia , yaitu Gunung
Jayawijaya di Papua.
Hasil
studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir
dan Laut, Institut Teknologi Bandung (2007), pun tak kalah mengerikan.
Ternyata, permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm.
Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan, pada tahun 2050
daerah-daerah di Jakarta (seperti : Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing)
dan Bekasi (seperti : Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan
terendam semuanya.
Dengan
adanya gejala ini, sebagai warga negara kepulauan, sudah seharusnya
kita khawatir. Pasalnya, pemanasan global mengancam kedaulatan negara.
Es yang meleleh di kutub-kutub mengalir ke laut lepas dan menyebabkan
permukaan laut bumi – termasuk laut di seputar Indonesia – terus
meningkat. Pulau-pulau kecil terluar kita bisa lenyap dari peta bumi,
sehingga garis kedaulatan negara bisa menyusut. Dan diperkirakan dalam
30 tahun mendatang sekitar 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam.
Bukan hanya itu, jutaan orang yang tinggal di pesisir pulau kecil pun
akan kehilangan tempat tinggal. Begitu pula asset-asset usaha wisata
pantai.
Peneliti
senior dari Center for International Forestry Research (CIFOR),
menjelaskan, pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi
gelombang panjang matahari (disebut juga gelombang panas / inframerah)
yang dipancarkan bumi oleh gas-gas rumah kaca (efek rumah kaca adalah
istilah untuk panas yang terperangkap di dalam atmosfer bumi dan tidak
bisa menyebar). Gas-gas ini secara alami terdapat di udara (atmosfer).
Penipisan lapisan ozon juga memperpanas suhu bumi. Karena, makin
tipis lapisan lapisan teratas atmosfer, makin leluasa radiasi
gelombang pendek matahari (termasuk ultraviolet) memasuki bumi. Pada
gilirannya, radiasi gelombang pendek ini juga berubah menjadi
gelombang panas, sehingga kian meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca
tadi.
Karbondioksida
(CO2) adalah gas terbanyak (75%) penyumbang emisi gas rumah kaca.
Setiap kali kita menggunakan bahan bakar fosil (minyak, bensin, gas
alam, batubara) untuk keperluan rumah tangga, mobil, pabrik, ataupun
membakar hutan, otomatis kita melepaskan CO2 ke udara. Gas lain yang
juga masuk peringkat atas adalah metan (CH4,18%), ozone (O3,12%), dan
clorofluorocarbon (CFC,14%). Gas metan banyak dihasilkan dari proses
pembusukan materi organic seperti yang banyak terjadi di peternakan
sapi. Gas metan juga dihasilkan dari penggunaan BBM untuk kendaraan.
Sementara itu, emisi gas CFC banyak timbul dari sistem kerja kulkas dan
AC model lama. Bersama gas-gas lain, uap air ikut meningkatkan suhu
rumah kaca.
Gejala
sangat kentara dari pemanasan global adalah berubahnya iklim.
Contohnya, hujan deras masih sering datang, meski kini kita sudah
memasuki bulan yang seharusnya sudah terhitung musim kemarau. Menurut
perkiraan, dalam 30 tahun terakhir, pergantian musim kemarau ke musim
hujan terus bergeser, dan kini jaraknya berselisih nyaris sebulan dari
normal. Banyak orang menganggap, banjir besar bulan Februari lalu yang
merendam lebih dari separuh DKI Jakarta adalah akibat dari pemanasan
global saja. Padahal 35% rusaknya hutan kota dan hutan di Puncak adalah
penyebab makin panasnya udara Jakarta . Itu sebabnya, kerusakan hutan
di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia, melainkan
juga warga dunia. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi), mengatakan, Indonesia pantas malu karena telah menjadi Negara
terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari
kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi
permukiman atau hutan industri). Jika kita tidak bisa menyelamatkan
mulai dari sekarang, 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10
tahun lagi hutan Kalimantan yang habis, 15 tahun lagi hutan di seluruh
Indonesia tak tersisa. Di saat itu, anak-anak kita tak lagi bisa
menghirup udara bersih. Jika
kita tidak secepatnya berhenti boros energi, bumi akan sepanas planet
Mars. Tak akan ada satupun makhluk hidup yang bisa bertahan, termasuk
anak-anak kita nanti.
0 komentar