16 Mei 2012
Pada zaman pra sejarah, sudah dikenal dengan kelainan presbyopia (mata plus) di kalangan pemburu. Namun karena tidak memahaminya sering kali mereka mencari kesembuhan dari dunia supranatural. Upaya-upaya untuk mengatasi gangguan pengelihatan karena mata minus, plus, atau silinder mulai ada sebelum tahun 800 SM seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yunani dimana mereka menggunakan bola kaca yang diisi air dan diletakkan di atas obyek yang akan dilihat.
 
Kemudian Kaisar Nero, Romawi menggunakan cincin emerland untuk membantu memulihkan pengelihatannya.  Pada tahun 1000-an mulai muncul kaca pembesar yang disebut dengan batu pembaca dan mulai dikenal di kawasan Eropa. Batu pembaca berbentuk bola kaca yang diletakkan di atas obyek yang akan dilihat. Barulah kacamata baca yang sesungguhnya ditemukan oleh pendeta dan ilmuwan Inggris, Roger Bacon pada tahun 1268.

Kemudian pada tahun 1275, seorang petualang asal Italia, Marcopolo menemukan kacamata yang digantungkan di atas telinga yang digunakan oleh orang-orang China. Kacamata mulai menjadi simbol kebangsawanan pada tahun 1700 dimana hal ini berawal dari Raja Philip V dan permaisuri beserta 500 pengawal wanitanya yang menggunakan kacamata dari kulit penyu.
 
Saat itu, kacamata pun menjadi mode di kalangan orang-orang menengah atas di Spanyol. Tahun 1790, kaca mulai digunakan sebagai lensa kemudian juga mulai ada banyak disain frame kacamata. Lensa trifocal untuk melihat dekat, menengah, dan jauh ditemukan oleh John Issac Hawkins pada tahun 1826.

Namun ternyata cerita tentang Penemu Kacamata  simpang siur dan banyak yg mengakuinya.
Berikut saya paparkan tentang Rahasia Dibalik Penemu Kaca Mata.

Rahasia Dibalik Penemu Kacamata.


Kacamata merupakan salah satu penemuan terpenting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Setiap peradaban mengklaim sebagai penemu kacamata. Akibatnya, asal-usul kacamata pun cenderung tak jelas dari mana dan kapan ditemukan.


Lutfallah Gari, seorang peneliti sejarah sains dan teknologi Islam dari Arab Saudi mencoba menelusuri rahasia penemuan kacamata secara mendalam. Ia mencoba membedah sejumlah sumber asli dan meneliti literatur tambahan. Investigasi yang dilakukannya itu membuahkan sebuah titik terang. Ia menemukan fakta bahwa peradaban Muslim di era keemasan memiliki peran penting dalam menemukan alat bantu baca dan lihat itu.


Lewat tulisannya bertajuk The Invention of Spectacles between the East and the West, Lutfallah mengungkapkan, peradaban Barat kerap mengklaim sebegai penemu kacamata. Padahal, jauh sebelum masyarakat Barat mengenal kacamata, peradaban Islam telah menemukannya. Menurut dia, dunia Barat telah membuat sejarah penemuan kacamata yang kenyataannya hanyalah sebuah mitos dan kebohongan belaka.


”Mereka sengaja membuat sejarah bahwa kacamata itu muncul saat Etnosentrisme,” papar Lutfallah. Menurut dia, sebelum peradaban manusia mengenal kacamata, para ilmuwan tdari berbagai peradaban telah menemukan lensa. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kaca.


Lensa juga dikenal pada beberapa peradaban seperti Romawi, Yunani, Hellenistik dan Islam. Berdasarkan bukti yang ada, lensa-lensa pada saat itu tidak digunakan untuk magnification (perbesaran), tapi untuk pembakaran. Caranya dengan memusatkan cahaya matahari pada fokus lensa/titik api lensa.


Oleh karena itu, mereka menyebutnya dengan nama umum “pembakaran kaca/burning mirrors”. ”Hal ini juga tercantum dalam beberapa literatur yang dikarang sarjana Muslim pada era peradaban Islam,” tutur Lutfallah. Menurut dia, fisikawan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham (965 M-1039 M), dalam karyanya bertajuk Kitab al-Manazir (tentang optik) telah mempelajarai masalah perbesaran benda dan pembiasan cahaya.


Ibnu al-Haitam mempelajari pembiasan cahaya melewati sebuah permukaan tanpa warna seperti kaca, udara dan air. “Bentuk-bentuk benda yang terlihat tampak menyimpang ketika terus melihat benda tanpa warna”. Ini merupakan bentuk permukaan seharusnya benda tanpa warna,” tutur al-Haitham seperti dikutip Lutfallah.


Inilah salah satu fakta yang menunjukkan betapa ilmuwan Muslim Arab pada abadke-11 itu telah mengenali kekayaan perbesaran gambar melalui permukaan tanpa warna. Namun, al-Haitham belum mengetahui aplikasi yang penting dalam fenomena ini. Buah pikir yang dicetuskan Ibnu al-Haitham itu merupakan hal yang paling pertama dalam bidang lensa.


Paling tidak, peradaban Islam telah mengenal dan menemukan lensa lebih awal tiga ratus tahun dibandingkan Masyarakat Eropa. Menurut Lutfallah, penemuan kacamata dalam peradaban Islam terungkap dalam puisi-puisi karya Ibnu al-Hamdis (1055 M- 1133 M). Dia menulis sebuah syair yang menggambarkan tentang kacamata. Syair itu ditulis sekitar200 tahun, sebelum masyarakat Barat menemukan kacamata. Ibnu al-Hamdis menggambarkan kacamata lewat syairnya antara lain sebagai berikut:


”Benda bening menunjukkan tulisan dalam sebuah buku untuk mata, benda bening seperti air, tapi benda ini merupakan batu. Benda itu meninggalkan bekas kebasahan di pipi, basah seperti sebuah gambar sungai yang terbentuk dari keringatnya,” tutur al-Hamdis.


Al-Hamdis melanjutkan, ”Ini seperti seorang yang manusia yang pintar, yang menerjemahkan sebuah sandi-sandi kamera yang sulit diterjemahkan. Ini juga sebuah pengobatan yang baik bagi orang tua yang lemah penglihatannya, dan orang tua menulis kecil dalam mata mereka.”


Syair al-Hamids itu telah mematahkan klaim peradaban Barat sebagai penemu kacamata pertama. Pada puisi ketiga, penyair Muslim legendaris itu mengatakan, “Benda ini tembus cahaya (kaca) untuk mata dan menunjukkan tulisan dalam buku, tapi ini batang tubuhnya terbuat dari batu (rock)”.


Selanjutnya dalam dua puisi, al-Hamids menyebutkan bahwa kacamata merupakan alat pengobatan yang terbaik bagi orang tua yang menderita cacat/memiliki penglihatan yang lemah. Dengan menggunakan kacamata, papar al-Hamdis, seseorang akan melihat garis pembesaran.


Dalam puisi keempatnya, al-Hamdis mencoba menjelaskan dan menggambarkan kacamata sebagai berikut: “Ini akan meninggalkan tanda di pipi, seperti sebuah sungai”. Menurut penelitian Lutfallah, penggunaan kacamata mulai meluas di dunia Islam pada abad ke-13 M. Fakta itu terungkap dalam lukisan, buku sejarah, kaligrafi dan syair.


Dalam salah satu syairnya, Ahmad al-Attar al-Masri telah menyebutkan kacamata. “Usia tua datang setelah muda, saya pernah mempunyai penglihatan yang kuat, dan sekarang mata saya terbuat dari kaca.” Sementara itu, Sejarawan al-Sakhawi, mengungkapkan, tentang seorang kaligrafer Sharaf Ibnu Amir al-Mardini (wafat tahun 1447 M). “Dia meninggal pada usia melewati 100 tahun; dia pernah memiliki pikiran sehat dan dia melanjutkan menulis tanpa cermin/kaca. “Sebuah cermin disini rupanya seperti lensa,” papar al-Sakhawi.


Fakta lain yang mampu membuktikan bahwa peradaban Islam telah lebih dulu menemukan kacamata adalah pencapaian dokter Muslim dalam ophtalmologi, ilmu tentang mata. Dalam karanya tentang ophtalmologi, Julius Hirschberg , menyebutkan, dokter spesialis mata Muslim tak menyebutkan kacamata. ”Namun itu tak berarti bahwa peradaban Islam tak mengenal kacamata,” tegas Lutfallah. desy susilawati.

Templateify

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae abtore veritatis et quasi architecto beatae vitae dicta sunt explicabo. Nemo enim ipsam voluptatem quia voluptas sit aspernatur aut odit aut fugit

0 komentar

Unik