Charles
Forster benar-benar pelaku marketing yang cerdas. Saking cerdasnya,
dia kerap disebut sebagai tenaga marketing yang bisa sukses menjual
daging sapi kepada kaum vegetarian. Tentu ini hanya sekadar
perumpamaan, karena kaum vegetarian tidaklah mengonsumsi daging.
Perumpamaan ini dibuat untuk menunjukkan bahwa Forster mampu menjual
sesuatu yang tidak bisa orang lain jual.
Pria
kelahiran Charlestown, Massachusetts, tahun 1826 ini tumbuh di
keluarga aristokrat Inggris. Di masa remaja, dia bekerja dengan
pamannya yang menjalankan bisnis ekspor/impor di Brazil. Saat tinggal
di Brazil itulah kecerdasan marketingnya terasah. Saat itu dia melihat
kebanyakan gigi penduduk asli Brazil terlihat rapi.
Selidik
punya selidik, dia menemukan alasan yang membuat gigi penduduk Brazil
tertata rapi. Saat itu, warga Brazil bisa menggunakan tusuk gigi kayu
yang dibuat secara manual. Sementara di tempat lain, saat itu tusuk
gigi masih terbuat dari logam.
Benda
kecil yang berfungsi untuk membersihkan sela-sela gigi ini memang
sudah dikenal dari era prasejarah. Banyak bukti menunjukkan saat itu,
manusia menggunakan ranting untuk membersihkan gigi. Pada era perunggu,
menurut situs nucleartoothpicks.com, tusuk gigi dibuat lebih rapi
dengan bahan logam, tapi prosesnya masih manual dan belum
dikomersialkan.
Setelah
terinspirasi kebiasaan warga Brazil, Forster kemudian melihat bahwa
tusuk gigi kayu memberinya peluang bisnis yang sangat menjanjikan. Dari
situ dia lantas berpikir untuk bisa membuat tusuk gigi kayu dalam
jumlah banyak, dan dalam waktu singkat. Akhirnya Forster sampai pada
pemikiran untuk membuat mesin pembuat tusuk gigi kayu. Saat itu memang
revolusi industri sedang mencapai momentum terbaik.
Forster
bukanlah seorang insinyur mesin yang bisa melakukannya sendiri. Tapi
dialah pemegang paten pertama untuk proses pembuatan tusuk gigi kayu.
Forster merangkul ahli mesin asal Boston, Benjamin Franklin Sturtevant,
yang sebelumnya telah membuat mesin pembuat sepatu yang alas bawahnya
berbahan kayu.
Dengan
mesin buatan Benjamin inilah Forster berhasil memproduksi tusuk gigi
kayu dalam jumlah banyak. Di tahun 1870, dia mampu memproduksi jutaan
tusuk gigi kayu dalam satu hari. Yang jadi masalah kemudian adalah daya
serap pasar yang masih terbatas di Boston. Saat itu, jumlah tusuk gigi
kayu yang bisa dijual di Boston masih sangat terbatas.
Untuk
mengatasi problem tersebut, dia mulai menitipkan tusuk gigi buatannya
di toko-toko eceran. Pemilik toko hanya membayar tusuk gigi yang laku
terjual. Cara seperti ini bisa sedikit mendongkrak penjualan tusuk
giginya.
Kemudian
Forster menempuh cara lain untuk mendongkrak penjualan tusuk giginya.
Dia meyakinkan kepada pemilik restoran bahwa tusuk gigi bisa menjadi
bagian dari layanan yang bisa menarik konsumen. Bersamaan dengan itu
dia menyewa beberapa orang untuk makan di restoran-restoran. Setelah
makan, orang yang disewa ini wajib menanyakan tusuk gigi kepada pemilik
restoran.
Dengan
cara ini, pemilik restoran menjadi percaya bahwa tusuk gigi merupakan
layanan yang harus diberikan kepada konsumen. Dari sinilah kemudian
para pemilik restoran merasa perlu untuk membeli tusuk gigi kepada
Forster.
Mulai
saat itulah tusuk gigi menjadi bagian dari ‘gaya hidup’ konsumen
restoran. Penggunaan tusuk gigi pun lantas menjadi sangat populer.
Dalam waktu yang singkat, pasar tusuk gigi buatan Forster langsung
meluas ke berbagai negara. Dari sinilah kemudian tusuk gigi benar-benar
terbukti bisa menjadi bisnis besar hingga saat ini.
0 komentar